Sebuah Memo dan Puisiku...

Mataku terbangun sebelum Tuhan memerintah Matahari untuk menari di atas kota ini.
Kuambil novel dari rak berdebu untuk berbagi kisahnya denganku pagi ini.
Bicara panjang lebar, novel itu mulai bosan degan percakapan satu arah kami, selagi Matahari menyeruak masuk menggantikan cahaya indah lampu kamarku.

Pikirku mulai melayang padamu. Mengingat semua kisah, kau dan aku, berbagi cerita, mencari asa, menulis langit, membuka jiwa.
Terdiam, memamtung, cukup lama.
Pikirku, sekian lama kita berkasih, apa yang kita perbuat? Kita bahkan belum beranjak, hanya terdiam dalam semua kekosongan duniawi yang kita terima.

Aku tahu Tuhan berkata berlawanan dengan hatiku, Tuhan ingin jiwa kosongku bersandar pada bakpau merah jambu yang jatuh tepat di sudut ruangan ketika aku sedang butuh pendamping.
Matanya, aku ingat matanya, mengingatkanku pada langit, ketika langit mulai jadi anak kecil lagi, ketika langit tak lagi dapat es krim dari Ibunya, ketika langit dipaksa tidur sendirian. Langit yang sedih ketika ditinggalkan Matahari dan ditemani awan kelabu di sisinya.

Tuhan kali ini tidak lagi jadi temanku, kami tak sepikir, kami berpisah pada suatu jalan bercabang yang sama sekali aku tak tahu kemana arah dan tujuannya.
Berjudi, satu-satunya jalan keluar dari masalah pertemanan antara Aku dengan Tuhan. Tapi lain, Tuhan kali ini tidak berada di pihakku. Kali ini aku berjudi, melawan Tuhan!
Aku tahu siapa yang menang, tetapi aku tetap memperjuangkan keinginanku. Tuhan menang tipis atasku.
Modalku selama ini cuma keyakinan, keyakinanku menipis, aku berhutang pada keberanian.
Akal sehatku sudah mempermainkanku, aku tak pernah sekalipun bimbang seperti ini dalam hidupku. Keyakinan dan keberanianku mendekati ambang batas. Pasukan aku kumpulkan, pikiran, tenaga, kebijaksanaan, dan semua rasa cintaku telah ku kerahkan. Tapi tetap Tuhan yang menang atasku, dan semakin memperburuk keadaan dengan membuat perjudian ini serasa teka-teki.

Aku menyerah, bukan putus asa, hanya menyerah, entahlah, masa bodoh! Terserah apa yang Tuhan mau!
Aku ingin jawaban, Tuhan, bukan judi yang tak jelas arah dan tujuannya ataupun teka-teki yang tidak bisa aku pecahkan ini. Aku tak mau jiwaku, masa depanku, kehidupanku yang jadi taruhannya. Aku tak mau jadi pertanyaan yang tak terjawab.

Aku hanya bisa tunduk patuh pada Tuhan, tapi tidak dengan jiwaku, jiwaku berontak, hatiku sangsi, berkata apakah Tuhan sudah memberi titik pada paragraf hidupku kali ini. Kepala editor di kantor hatiku tidak menginginkan adanya titik di paragraf itu, ia ingin koma, ia ingin cerita yang berbeda dari cerita sebelumnya.

Menurutku, setelah berjalan sekian lama ditemani Tuhan, mereka mirip dengan telur, meski dengan tempurung telur yang terlihat kuat di luar, mereka rapuh, mereka lembut, mereka mudah di ombang-ambing keadaan.
Hidupku layaknya tepung terigu yang diperlukan Tuhan untuk membuat kue kesukaan-Nya. Tuhan butuh aku, demikian pula halnya mereka, agar Tuhan bisa membuat kue paling nikmat dalam sejarah percintaan tepung dengan telur.
Amarah, cemburu, sakit hati, dendam, pertengkaran, jarak, waktu. Menurutku itu teman gula, garam, dan baking soda. Tuhan sengaja mencampur mereka merata dengan kami. Tanpa mereka, kue itu sekedar gundukan adonan yang belum rampung.

Matahari kian marah, tapi aku masih belum menemukan jawaban atas teka-teki yang diberikan Tuhan atasku, pikirku sudah jauh darimu, hari depan penuh harapan menunggu untuk ku pijak.

Permintaanku kali ini untuk-Mu, Tuhanku, hentikan perjudian ini, berilah jawaban atas teka-teki ini.

Hati dan Kesombongan...

Mungkin kau terlalu sombong untuk mengakuinya.
Bukan, ini masalah hati.

Mungkin kau terlalu sombong untuk mengatakannya.
Bukan, ini masalah hati.

Mungkin kau terlalu sombong untuk melakukannya.
Bukan, ini masalah hati.

Mungkin, kau terlalu sombong, pecinta.
Bukan, ini masalah hati.

Jadi, semua ini ulah kesombongan hatimu?
Bukan, ini semua karena aku terlalu mencintaimu.