Sst..
Dengar apa yang aku rasakan
Sst..
Dengar apa yang aku lihat
Sst..
Dengar apa yang aku cium
Debur ombak patahkan jiwa
Debar jantung hentikan raga
Sembur murka pancarkan amarah
Sebar belatung keroposkan hati
Hambur harta tanyakan esensi
Hambar rasa sangsikan emosi
Tabur harap tuaikan perasaan
Tampar pipi merahkan mata
Sst..
Dengar! Dengarlah sejenak...
Sst..
Apakah kau dengar?
Sebab aku mendengar relung jiwamu lebih dari yang kau tahu
dari matamu
Kopi
Kopi panas telah membakar lidahku;
sepertimu membakar hatiku dengan senyap katamu
Kopi panas telah menghitamkan kemeja kesukaanku;
seperti saat kau masuk dalam duniaku dan mengacaukan semua
Kopi panas telah menghabiskan gula terakhirku;
terlalu pahit kisah kita dan akulah yang perbaiki semua
Tapi, kopi panas telah hangatkan tubuhku;
dingin duniaku tanpa peluk kecup hangatmu
Tapi, kopi panas telah membuatku selalu terjaga;
selalu membuka mata akan semua peristiwa
Tapi, kopi panas telah jadi teman dekat;
semakin sendiri aku tanpamu
Dan paling penting, kopi panas akan tetap menjadi favoritku!
sepertimu membakar hatiku dengan senyap katamu
Kopi panas telah menghitamkan kemeja kesukaanku;
seperti saat kau masuk dalam duniaku dan mengacaukan semua
Kopi panas telah menghabiskan gula terakhirku;
terlalu pahit kisah kita dan akulah yang perbaiki semua
Tapi, kopi panas telah hangatkan tubuhku;
dingin duniaku tanpa peluk kecup hangatmu
Tapi, kopi panas telah membuatku selalu terjaga;
selalu membuka mata akan semua peristiwa
Tapi, kopi panas telah jadi teman dekat;
semakin sendiri aku tanpamu
Dan paling penting, kopi panas akan tetap menjadi favoritku!
Penyiar Tua
Seorang penyiar tua duduk terdiam dalam ruangan, sambil memutar tembang sonata Beethoven sembari menghabiskan teh yang sudah hangat-hangat kuku. Menunggu sobatnya keluar pesan nasi padang kesukaannya, dan tampak semakin bingung tak ada yang bisa dikerjakan. Malang nian nasib penyiar ini. Mimpi apa dia kemarin, hari ini hanya duduk diam.
Headphone usang yang hampir robek busanya itulah yang selama ini selalu menimangnya dalam buai lembut senandung nada, pun ia tampak pegal selalu bertengger di kepalanya siang malam. Untung jendela ruang kerjannya setia mengijinkannya menatap indahnya lukisan awan putih menggumpal mirip biri-biri.
Terasa bosan, teramat bosan.
Perut meraung, cacing pita memekik, tak kuasa penyiar ini menahan goda iman segera melepas lapar. Lama kali orang ini, sahutnya sembari menjitak sobatnya.
Menua di studio membuat mereka sehati sejiwa bagai bertemankan diri mereka sendiri. Pernah sekali waktu mereka beradu mulut hanya karena masalah sepele, ada berapa balon dalam lagu Balonku. Tapi usailah sudah setelah mendapati tukang balon saja tidak tahu siapa yang berani meletuskan balon anak jendral itu.
Asam manis mereka lalui, tetapi waktu seakan tak rela mereka berpisah.
Tak terasa waktu menghabiskan nasi padang dan sonata milik Beethoven yang kala itu diputar. Petang menggeserkan senja yang selalu dampingi mereka bersuara lewat udara. Pigura foto keluarga masing-masing makin menguatkan hasrat bersua anak-istri walau di luar badai.
Pergilah masing-masing menembus badai, lewati genangan air, dan penat jalan ibukota demi anak-istri.
"Boleh kami tua dalam ruang sempit 3x3 itu, tapi kami juga punya hak hidup, Bung!"
Headphone usang yang hampir robek busanya itulah yang selama ini selalu menimangnya dalam buai lembut senandung nada, pun ia tampak pegal selalu bertengger di kepalanya siang malam. Untung jendela ruang kerjannya setia mengijinkannya menatap indahnya lukisan awan putih menggumpal mirip biri-biri.
Terasa bosan, teramat bosan.
Perut meraung, cacing pita memekik, tak kuasa penyiar ini menahan goda iman segera melepas lapar. Lama kali orang ini, sahutnya sembari menjitak sobatnya.
Menua di studio membuat mereka sehati sejiwa bagai bertemankan diri mereka sendiri. Pernah sekali waktu mereka beradu mulut hanya karena masalah sepele, ada berapa balon dalam lagu Balonku. Tapi usailah sudah setelah mendapati tukang balon saja tidak tahu siapa yang berani meletuskan balon anak jendral itu.
Asam manis mereka lalui, tetapi waktu seakan tak rela mereka berpisah.
Tak terasa waktu menghabiskan nasi padang dan sonata milik Beethoven yang kala itu diputar. Petang menggeserkan senja yang selalu dampingi mereka bersuara lewat udara. Pigura foto keluarga masing-masing makin menguatkan hasrat bersua anak-istri walau di luar badai.
Pergilah masing-masing menembus badai, lewati genangan air, dan penat jalan ibukota demi anak-istri.
"Boleh kami tua dalam ruang sempit 3x3 itu, tapi kami juga punya hak hidup, Bung!"
Aku Rasa Tak Perlu...
Entah apa yang kau rasakan
Aku tak tahu apa yang kau mau
Mengerti sedikit saja inginmu akupun tidak
Tapi, kedua bola matamu tak akan pungkiri segala letup emosi gembiramu
Bukan ku tak hargai
Juga tak ingin ku melukai sedikitpun perasaanmu
Biasanya memang tidak seperti ini
Tidak dalam adatku
Mungkin rumah yang kita diami sekarang ini beralaskan pasir,
meliuk lepas seraya terhempas kuat ombak
Tak punya ilmu yang kuat sebelum berbenah
Bersenjata hati, tak bertameng ilmu
Berikat nafsu, tak berjubah doa
Aku rasa tak perlu, Adinda...
menukar jiwamu dengan sebutir beras supaya kau hidup
hanya hari ini
Aku tak tahu apa yang kau mau
Mengerti sedikit saja inginmu akupun tidak
Tapi, kedua bola matamu tak akan pungkiri segala letup emosi gembiramu
Bukan ku tak hargai
Juga tak ingin ku melukai sedikitpun perasaanmu
Biasanya memang tidak seperti ini
Tidak dalam adatku
Mungkin rumah yang kita diami sekarang ini beralaskan pasir,
meliuk lepas seraya terhempas kuat ombak
Tak punya ilmu yang kuat sebelum berbenah
Bersenjata hati, tak bertameng ilmu
Berikat nafsu, tak berjubah doa
Aku rasa tak perlu, Adinda...
menukar jiwamu dengan sebutir beras supaya kau hidup
hanya hari ini
Pukul aku!
Pukul aku jika ku bisu!
;denganku terdiam atas semua kesahmu.
Pukul aku jika ku tuli!
;menutup duniaku akan hal baru yang kau sematkan dalam alun indah anggun sikapmu.
Pukul aku jika ku buta!
;mengaburkan pandangan sendiri akan manisnya hidup berdua, denganmu.
Pukul aku jika ku berpijak pada batu yang salah!
;melihat begitu tipisnya perbedaan benar salah.
Pukul aku jika ku ambil embun bunga bangkai!
;meminum penyegar dahaga jiwa sementara dan akhirnya mati tersedak.
.
.
.
.
.
.
Pukul aku jika ku lukai hatimu!
;denganku terdiam atas semua kesahmu.
Pukul aku jika ku tuli!
;menutup duniaku akan hal baru yang kau sematkan dalam alun indah anggun sikapmu.
Pukul aku jika ku buta!
;mengaburkan pandangan sendiri akan manisnya hidup berdua, denganmu.
Pukul aku jika ku berpijak pada batu yang salah!
;melihat begitu tipisnya perbedaan benar salah.
Pukul aku jika ku ambil embun bunga bangkai!
;meminum penyegar dahaga jiwa sementara dan akhirnya mati tersedak.
.
.
.
.
.
.
Pukul aku jika ku lukai hatimu!
Sesal, Maaf, dan Hai
Kebohongan termuntah sudah.
Kebimbangan menghalangi semua rasa yang tersirat, kau dan aku.
Meninggalkan sebuah kisah kelam, di sini, di balik kemeja bercak darah.
Dan akhirnya pun aku tahu, bukan ini yang harusnya terjadi.
Tak jarang hatiku pun menangis sekencang-kencangnya. Sesali apa yang tak pernah ku lakukan.
Tertahan maaf di pangkal lidahku.
Tak tahu cara mengkontraksi otot. Takut berbuat dosa yang sama tuk kesekian kalinya.
Inginku menulis ulang semua kisah kelam dengan kata maaf.
Berpadu kasih di tengah dingin dunia,
meluapkan segala amarah,
tawarkan semua masalah,
menghapus keluh kesah.
Andai jam berputar terbalik,
mungkin ini hal pertama yang terucap:
Hai! Apa kabar? Bolehkah sedikit aku tahu namamu?
Kebimbangan menghalangi semua rasa yang tersirat, kau dan aku.
Meninggalkan sebuah kisah kelam, di sini, di balik kemeja bercak darah.
Dan akhirnya pun aku tahu, bukan ini yang harusnya terjadi.
Tak jarang hatiku pun menangis sekencang-kencangnya. Sesali apa yang tak pernah ku lakukan.
Tertahan maaf di pangkal lidahku.
Tak tahu cara mengkontraksi otot. Takut berbuat dosa yang sama tuk kesekian kalinya.
Inginku menulis ulang semua kisah kelam dengan kata maaf.
Berpadu kasih di tengah dingin dunia,
meluapkan segala amarah,
tawarkan semua masalah,
menghapus keluh kesah.
Andai jam berputar terbalik,
mungkin ini hal pertama yang terucap:
Hai! Apa kabar? Bolehkah sedikit aku tahu namamu?
Mustahil
Tak mungkin, tak mungkin orang bisa tuliskan asam manis hidupnya hanya beberapa bulir kata saja.
Tertawalah sejenak pikiranku.
Hei, baru saja aku melakukannya!
Tertawalah sejenak pikiranku.
Hei, baru saja aku melakukannya!
5 Maret Setahun yang Lalu
Berdiri aku, malam itu di depan sebuah rumah.
Kisah yang panjang.
Menjadi awal, dan menajdi akhir.
5 Maret setahun yang lalu, hari bahagia bagi orang yang ku cinta-entah jika itu benar cinta atau bukan-hari disaat seorang haruslah berterimakasih pada Tuhan atas berkat yang melimpah setahun sudah.
Sebelum senja tiba, aku telah berrias bak pangeran yang siap menjemput permaisurinya, menjadikannya wanita teristimewa, dikala itu.
Aku dah siap, pikirku.
Tak lama hari telah lalu, aku terkejut.
Terperangah tak tahu haruslah berbuat apa.
Kau pergi, tepis semua peluk hangat, semua kecup rindu.
Tak patutlah kiranya jikalau semua peluk dan kecup itu menjadi siksa bagimu.
Aku ingin akhiri, tapi tak mungkin, tak bisa.
Aku hanya bisa mengalah, pasrah.
Menciutkan duniaku, biarkan jiwamu lepas seperti bebasnya burung di cakrawala kehidupan.
Aku pikir ini bukan kisah, tak pantas dibaca, tak layak diperdengarkan, tak patut diingat. Hanya karena cerita ini belum rampung.
Kisah yang panjang.
Menjadi awal, dan menajdi akhir.
5 Maret setahun yang lalu, hari bahagia bagi orang yang ku cinta-entah jika itu benar cinta atau bukan-hari disaat seorang haruslah berterimakasih pada Tuhan atas berkat yang melimpah setahun sudah.
Sebelum senja tiba, aku telah berrias bak pangeran yang siap menjemput permaisurinya, menjadikannya wanita teristimewa, dikala itu.
Aku dah siap, pikirku.
Tak lama hari telah lalu, aku terkejut.
Terperangah tak tahu haruslah berbuat apa.
Kau pergi, tepis semua peluk hangat, semua kecup rindu.
Tak patutlah kiranya jikalau semua peluk dan kecup itu menjadi siksa bagimu.
Aku ingin akhiri, tapi tak mungkin, tak bisa.
Aku hanya bisa mengalah, pasrah.
Menciutkan duniaku, biarkan jiwamu lepas seperti bebasnya burung di cakrawala kehidupan.
Aku pikir ini bukan kisah, tak pantas dibaca, tak layak diperdengarkan, tak patut diingat. Hanya karena cerita ini belum rampung.
Terhenti
Terhenti langkahku
saat ku pergi ingin menjamah kepedihan lama membekas di hati
Semenit
Baiknya cerita ini kusimpan saja
Kisah yang tak rampung,
biar jadi tuntunan hidup
saat ku pergi ingin menjamah kepedihan lama membekas di hati
Semenit
Baiknya cerita ini kusimpan saja
Kisah yang tak rampung,
biar jadi tuntunan hidup
Tak cuma meja yang punya kolong (Cerita kolong langit)
Tiap 1x24 jam, ada saja ide yang mencuat keluar dan melapor. Katanya, "Lapor, pak! Saya ada ide."
Minta dituang ke secarik kertas, katanya. Sayangnya, aku tak punya satu.
Kadang mereka seperti tak punya adat dan sopan santun, tak tahu dimana dan bilamana harus muncul.
Saat kuda besiku dipacu 60 km/jam, saat menimba air untuk mandi,
bahkan pukul 3 pagi saat satpam pun masih terlelap ditemani mimpi manis menangkap maling.
Ah, sial, kenapa harus lapor disaat seperti itu?
Tak apalah, pikirku.
Toh juga pikiranku masih muat dijejali ide-ide itu. Mungkin nanti-kalau aku masih ingat tentunya-di rumah pun aku masih bisa meracik ide-ide itu menjadi minuman jiwa yang patut dituang ke atas secarik kertas putih.
Sungguh nikmat rasanya menuangkan minuman itu selagi hangat.
Kurasa secarik saja tidak cukup.
Tambah, tambah, tambah lagi.
Seakan tinta hitam yang keluar dari jemar kasar ini tiada habisnya.
Kasihan minuman-minuman itu, kian dingin,
tak laku di lidah orang. Demikian halnya denganku,
hanya pramusaji, ditugaskan Tuhan hanya tuk menuang.
Meski ada waktu untuk menenggak ataupun sedikit saja meliriknya,
sekali-kali aku tidak pernah.
Di sinilah aku,
mencari meja yang tepat. Tempatku menaruh harap
adanya kehangatan bagi minuman-minumanku.
Tempatku menyimpan semua kertas, semua cerita, semua kegembiraan, kepedihan.
Di suatu tempat,
suatu tempat di kolong langit.
Minta dituang ke secarik kertas, katanya. Sayangnya, aku tak punya satu.
Kadang mereka seperti tak punya adat dan sopan santun, tak tahu dimana dan bilamana harus muncul.
Saat kuda besiku dipacu 60 km/jam, saat menimba air untuk mandi,
bahkan pukul 3 pagi saat satpam pun masih terlelap ditemani mimpi manis menangkap maling.
Ah, sial, kenapa harus lapor disaat seperti itu?
Tak apalah, pikirku.
Toh juga pikiranku masih muat dijejali ide-ide itu. Mungkin nanti-kalau aku masih ingat tentunya-di rumah pun aku masih bisa meracik ide-ide itu menjadi minuman jiwa yang patut dituang ke atas secarik kertas putih.
Sungguh nikmat rasanya menuangkan minuman itu selagi hangat.
Kurasa secarik saja tidak cukup.
Tambah, tambah, tambah lagi.
Seakan tinta hitam yang keluar dari jemar kasar ini tiada habisnya.
Kasihan minuman-minuman itu, kian dingin,
tak laku di lidah orang. Demikian halnya denganku,
hanya pramusaji, ditugaskan Tuhan hanya tuk menuang.
Meski ada waktu untuk menenggak ataupun sedikit saja meliriknya,
sekali-kali aku tidak pernah.
Di sinilah aku,
mencari meja yang tepat. Tempatku menaruh harap
adanya kehangatan bagi minuman-minumanku.
Tempatku menyimpan semua kertas, semua cerita, semua kegembiraan, kepedihan.
Di suatu tempat,
suatu tempat di kolong langit.
Wanita dan Keindahan...
Tak ada mahkluk yang lebih indah dari wanita
Lebih indah dari aurora Kutub Utara,
selalu memancarkan indah cahyanya meski dalam kegelapan
Lebih langka dari berlian merah muda Afrika,
menyatakan bahwa Tuhan masih berkarya dalam hidup yang bagai tanah ini
Mentari boleh iri,
senyum yang merekah di wajah itu hangat,
seakan merenggut hangatnya Matahari pagiku
Apa jadinya dunia tanpa wanita?
Pria bergelantung bebas pada dahan hutan beton,
menarik otot mereka,
keras kepala
Tak tahulah aku apa jadinya nanti
Begitu indah, terlalu indah
Merasa tak pantaslah aku
Ingin hati bersama,
tapi apa mau dikata
Aku merasa tak pantas
Lebih indah dari aurora Kutub Utara,
selalu memancarkan indah cahyanya meski dalam kegelapan
Lebih langka dari berlian merah muda Afrika,
menyatakan bahwa Tuhan masih berkarya dalam hidup yang bagai tanah ini
Mentari boleh iri,
senyum yang merekah di wajah itu hangat,
seakan merenggut hangatnya Matahari pagiku
Apa jadinya dunia tanpa wanita?
Pria bergelantung bebas pada dahan hutan beton,
menarik otot mereka,
keras kepala
Tak tahulah aku apa jadinya nanti
Begitu indah, terlalu indah
Merasa tak pantaslah aku
Ingin hati bersama,
tapi apa mau dikata
Aku merasa tak pantas
Pilihan dan Kesempatan...
Pedih rasanya ketika pilihan,
kian hari kian menjauh
Tak pernah kubayangkan rasanya ditinggalkan,
dan tak kembali
Ketika jiwa sudah tak lagi satu dengan akal
Melangkah menjauh, semakin jauh
Ketika jiwa tlah memberi banyak kesempatan,
tak ada satu kali pun akal menghiraukan
Tak ada sekali pun
Jika nalar ingin berkata sesuatu,
mungkin ia tak tahu akan merangkai paragraf yang tepat tuk menulis cerita ini
Aku tahu, tiap sayat memori yang tergoreskan takkan pernah sembuh
Aku ingin tiap goresan itu,
bukan menjadi luka pedih,
tetapi jadi peta pengetahuan agar tak ada gores luka yang sama
Berkelit aku tak mampu,
keluar apalagi
Hari ini kesempatan datang,
mungkin tidak dengan hari esok
Aku telah mempermudah pilihanmu
Jadi...?
kian hari kian menjauh
Tak pernah kubayangkan rasanya ditinggalkan,
dan tak kembali
Ketika jiwa sudah tak lagi satu dengan akal
Melangkah menjauh, semakin jauh
Ketika jiwa tlah memberi banyak kesempatan,
tak ada satu kali pun akal menghiraukan
Tak ada sekali pun
Jika nalar ingin berkata sesuatu,
mungkin ia tak tahu akan merangkai paragraf yang tepat tuk menulis cerita ini
Aku tahu, tiap sayat memori yang tergoreskan takkan pernah sembuh
Aku ingin tiap goresan itu,
bukan menjadi luka pedih,
tetapi jadi peta pengetahuan agar tak ada gores luka yang sama
Berkelit aku tak mampu,
keluar apalagi
Hari ini kesempatan datang,
mungkin tidak dengan hari esok
Aku telah mempermudah pilihanmu
Jadi...?
Subscribe to:
Posts (Atom)