Seorang penyiar tua duduk terdiam dalam ruangan, sambil memutar tembang sonata Beethoven sembari menghabiskan teh yang sudah hangat-hangat kuku. Menunggu sobatnya keluar pesan nasi padang kesukaannya, dan tampak semakin bingung tak ada yang bisa dikerjakan. Malang nian nasib penyiar ini. Mimpi apa dia kemarin, hari ini hanya duduk diam.
Headphone usang yang hampir robek busanya itulah yang selama ini selalu menimangnya dalam buai lembut senandung nada, pun ia tampak pegal selalu bertengger di kepalanya siang malam. Untung jendela ruang kerjannya setia mengijinkannya menatap indahnya lukisan awan putih menggumpal mirip biri-biri.
Terasa bosan, teramat bosan.
Perut meraung, cacing pita memekik, tak kuasa penyiar ini menahan goda iman segera melepas lapar. Lama kali orang ini, sahutnya sembari menjitak sobatnya.
Menua di studio membuat mereka sehati sejiwa bagai bertemankan diri mereka sendiri. Pernah sekali waktu mereka beradu mulut hanya karena masalah sepele, ada berapa balon dalam lagu Balonku. Tapi usailah sudah setelah mendapati tukang balon saja tidak tahu siapa yang berani meletuskan balon anak jendral itu.
Asam manis mereka lalui, tetapi waktu seakan tak rela mereka berpisah.
Tak terasa waktu menghabiskan nasi padang dan sonata milik Beethoven yang kala itu diputar. Petang menggeserkan senja yang selalu dampingi mereka bersuara lewat udara. Pigura foto keluarga masing-masing makin menguatkan hasrat bersua anak-istri walau di luar badai.
Pergilah masing-masing menembus badai, lewati genangan air, dan penat jalan ibukota demi anak-istri.
"Boleh kami tua dalam ruang sempit 3x3 itu, tapi kami juga punya hak hidup, Bung!"
No comments:
Post a Comment