Tiap 1x24 jam, ada saja ide yang mencuat keluar dan melapor. Katanya, "Lapor, pak! Saya ada ide."
Minta dituang ke secarik kertas, katanya. Sayangnya, aku tak punya satu.
Kadang mereka seperti tak punya adat dan sopan santun, tak tahu dimana dan bilamana harus muncul.
Saat kuda besiku dipacu 60 km/jam, saat menimba air untuk mandi,
bahkan pukul 3 pagi saat satpam pun masih terlelap ditemani mimpi manis menangkap maling.
Ah, sial, kenapa harus lapor disaat seperti itu?
Tak apalah, pikirku.
Toh juga pikiranku masih muat dijejali ide-ide itu. Mungkin nanti-kalau aku masih ingat tentunya-di rumah pun aku masih bisa meracik ide-ide itu menjadi minuman jiwa yang patut dituang ke atas secarik kertas putih.
Sungguh nikmat rasanya menuangkan minuman itu selagi hangat.
Kurasa secarik saja tidak cukup.
Tambah, tambah, tambah lagi.
Seakan tinta hitam yang keluar dari jemar kasar ini tiada habisnya.
Kasihan minuman-minuman itu, kian dingin,
tak laku di lidah orang. Demikian halnya denganku,
hanya pramusaji, ditugaskan Tuhan hanya tuk menuang.
Meski ada waktu untuk menenggak ataupun sedikit saja meliriknya,
sekali-kali aku tidak pernah.
Di sinilah aku,
mencari meja yang tepat. Tempatku menaruh harap
adanya kehangatan bagi minuman-minumanku.
Tempatku menyimpan semua kertas, semua cerita, semua kegembiraan, kepedihan.
Di suatu tempat,
suatu tempat di kolong langit.
No comments:
Post a Comment