Hidupku Menyebalkan

Karena dalam hidup tak ada sekalipun ampun
Amnesti yang kau damba hanya ada di liang lahat satu kali dua
Ketakutanmu kini menjadi nyata
Kalut carut marut pikirmu yang kau agungkan
Pundakmu yang letih mengisyaratkan air mata
Agar jatuh sekenanya
Yang semula kau anggap biasa
Kini kau ingin teriak, "Ini derita!"
Perlahan tanah yang kau pijak menjadi hisap
Lepas peganganmu
Keruh lamunmu
Kabur pandangmu

Hidupku menyebalkan
Semoga tidak dengan hidupmu

Yogyakarta, 28/11/2016 19:21

Pertemuan Singkat

Yang pergi tidak benar-benar mati
Jauh di sini, aku selalu menitipkan kecup rindu lewat desir angin
Dingin
Mentari yang jatuh menutup lembar kenangan gerimis senjakala
Dimana kita, aku dan kamu
Menutup mulut, membuka telinga, mendengar bersama
Hangat
Sepertinya aku tidak membutuhkan seluloid
Hanya untuk melukis senyummu dalam ingatanku
Kopi yang sengaja kita seduh itu, melakukannya untukku
Pahit
Tetes hujan yang jatuh
Menandakan kepergianmu, atau kepulanganku
Kita menjadi aku, dan kamu
Lalu terdispersi, terdisipasi

Hujan, berhenti.

Yogyakarta, 24/09/2016 21:15

Elegi

Elegi itu datang lagi
Kembali mengancam jiwa yang penuh ragu
Dalam perjalannya mencari terang, tenang
Coba ia terus berontak
Agar tak kembali terjebak cahaya palsu
Biarlah hari-harinya penuh resah dan gelisah
Supaya ia tetap tahu apa yang dihadapi di depannya
Supaya tak buta matanya disilaukan terang yang menyerang
Seolah hidupnya kini adalah sebuah paradoks
Yang diciptakannya sendiri
Dari kepahitan masa lalu,
Dari ketakutan masa depan,
Dari gelisah tak teratur tentang masa kini
Meninggalkan sebuah tanda tanya
Benarkah tanda tanya itu tidak ada jawabnya?
Banyak kata yang tak kuucap
Semoga itu bukan jawabnya

Yogyakarta, 06/09/2016 23:35

Kepada orang-orang yang menyerah pada kemunafikan

Idealisme yang dijunjung tinggi
Yang dibela sampai mati
Menjadi gelap
Jalannya terseok
Desirnya lumpuh
Menyerah pada sekelumit kompromi
Ketakutan demi alasan keamanan
Aturan dilanggar dianggap wajar
Asal perut kenyang,
Celah dipermainkan
Topeng-topeng saat petang
Menyembunyikan perasaan-perasaan
"Strata bukan batasan," katanya...
Hisapan jempol belaka, nyatanya
Orang muda yang keras kepala
Tak berdaya bila disanding dengan tua-tua
Dingin hatinya
Berkabut pikirnya
Tak lagi lurus
Tak lagi lapang
Dicerca sedikit katanya dikekang
Dipuji sedikit sombongnya bukan kepalang
Satu hal, kawanku, saudaraku
Semudah itukah orang muda takluk
pada kemunafikan?

Yogyakarta, 31/08/2016 1:26
Pegang tanganku,
sebab aku sudah tak mampu lagi mengisi kekacauan hidup dengan kekacauan yang lain
Hapus peluhku,
lelah aku menjaga aku yang bukan aku
Seka tangisku,
tidaklah menyenangkan melukai yang tak seharusnya diluka

Waktu sudah meretakkan hampir semua topeng
Aku melihat hampir semuanya
Yang tersisa hanya mereka yang terlalu tangguh untuk digerus waktu
Yang menyembunyikan topeng dibalik wajah asli mereka

Surabaya, 29/06/2016 0:54

Bangun

Dibungkam hujan
Dibutakan malam
Matahari yang ingin dikenang kehilangan akal sehatnya
Melolong tak menjadikannya serigala
Bersiul tak menjadikannya udara
Langit biru terisak terbata
Melawan kelam yang terbangun atas perihnya luka
Mencari terang jalan tak pernah ia temukan
Menyalahkan sudut kota yang tak tahu perihal apapun
Meluka tiap bayang dengan sayat sayap rindu yang patah
Terinjak pasir yang kau tahu pasti mengubur apa, atau siapa
Lalu sekejap ia terlelap
Dalam pasung kekecewaan
dan kesendirian

Yogyakarta, 19/06/2016 01:03

Pulang 3

Aku menuliskan ini ketika di luar sedang turun hujan
Dan baru saja aku merebahkan badan di ranjang

Aku kembali datang
Entah untuk pulang,
atau kembali bertualang

Yogyakarta, 31/05/2016 19:37

Pulang 2

Sekarang pikirku tidak sedang berada dimana
Tiap kata menjadi tidak komprehensif
Selalu bertanya-tanya tentang keberadaan

Rumah...
Menjadi sebuah komposisi antara destinasi dan pribadi
Pulang...
Sebuah kata yang makin kau sebut, semakin tidak memiliki makna

Dengan semua tanya yang mengawasi
Aku ingin pergi dari sini
Tapi ketika pergi nanti,
Apa yang hendak aku cari?

Lantas,
Apakah aku harus menjadi pengungsi
dalam kepalaku sendiri?

Surabaya, 30/05/2016 15:00

Pulang 1

Ketika pulang membutuhkan alasan

Seketika itu pula manusia kehilangan rumah
Hasratnya sudah tiada
Hatinya menjadi tawar dan dingin

Menjadikan laut dan ombak tempatnya mengadu
Badai sepi menyembunyikan wajahnya pucat pasi
Rautnya pucat, nampak sudah tidak sehat

Pulanglah...
Tak mau kah barang sebentar saja
Rehat, beristirahat
Agar pribadi dalam kepalamu
Kembali dikenali

Surabaya, 29/05/2016 07:15

Keping Kecil Bernama Suaka

Masing-masing kita memiliki Suaka
Yang, entah Tuhan ingin atau tidak, mungkin menjadi neraka
Ia yang mendengar tiap keluhmu
Menatap kesendirianmu
Menyekat masa lalu, sekarang, dan masa depan
Dan akan memaksamu menjalani sebuah pilihan,
berhenti, dan membiarkannya terkunci,
atau
biarkan ia menari dan hidup sampai Surga tidak ada lagi

Yogyakarta, 18/05/2016 10:06

Barisan Kata Maaf

Sebelum aku benar-benar percaya ada kata terlambat
Aku ingin meminta maaf
Karena mencintaimu terlalu dini,
hingga tak sempat Matahari mengucap selamat tinggal pada Malam
Karena mencintaimu terlalu dalam,
sampai luput samudera menjadi kiasan
Karena maaf yang terucap terlalu membeludak,
yang penuh arti menjadi sesak di hati

Coret aku dari daftar impianmu itu
Tak pantas namaku ada di situ
Bersanding dengan kota-kota yang ingin kau kunjungi,
dengan mimpi yang terus kau perbarui
Tapi
Kamu akan selalu menjadi nafas yang terpendam dari puisi-puisiku
Rusuk yang tak pernah patah dalam diam aksaraku

Yogyakarta, 14/05/2016 10:08
Matahari pagi tak selalu menawan
Ia melalui proses panjang bernama malam
Membawa bersamanya embun yang selalu melamun
Dalam pangkuannya, aku dibuat terpana
Ku dengar tawa dahan yang bergemerisik
Bersama nafas hembusan angin
Melambat
Kian lama makin cepat
Hingga tiba-tiba membutakan
Menjadi siang yang terlalu terang

Kaliurang-Yogyakarta, 01/05/2016 06:02

Kepadamu, Aku Bertanya

Kepada gurun, aku bertanya
Apa arti segelas air bagimu?
Kepada samudera, aku bertanya
Apa arti segenggam pasir bagimu?
Kepada kutub, aku bertanya
Apa arti sepercik api bagimu?
Kepadamu, aku bertanya
Apa arti sesosok Aku bagimu?

Yogyakarta, 29/04/2016 11:30
Biarkan aku bercerita sedikit tentang waktu
Tentang bagaimana dia menyiksamu
Tentang pahitnya menunggu

Sore itu
Kau berkata padaku akan membantuku habiskan waktu
Tapi agaknya semua itu palsu
Atau aku dengan terlalu bodohnya, mau menunggu
Hidupmu sudah seharusnya terbagi
Siapakah aku meminta bagian?

Aku hanya ingin kau tahu
Hari ini aku,
sudah membagi waktuku
Untuk menunggumu

Yogyakarta, 13/04/2016 21:36

Tunda Awal Sebuah Mula

Dari sebuah siksa yang terus membelenggu
Suara itu aku dengar
Lirih, pasif, dan getir
Tentang sebuah perjalanan yang menemukan akhir
Menjadikan nisan sebuah pelabuhan
Berharap remuk ditiup angin
Diam saja melihat cahaya yang berpendar dari kejauhan
Melambat, meliuk dalam liku
Menjadi kaku
Tanpa sedikitpun menjadikannya baku
Dahan dan ranting yang patah
Memaksa daun untuk mengaku kalah
Terkembali menjadi putih
Dengan atau tanpa merintih
Dan akhir tidak menjadi henti
Tapi menjadi tunda
Supaya semua mendapat kesempatan kedua
Sebuah mula

Yogyakarta, 07/04/2016 14:58
Sunyi ini tak seperti biasanya
Semua perlahan menghilang dan jadi senyap
Terlalu lama dalam kesunyian
Membuatmu lupa bagaimana mencipta keramaian
Membuatmu lupa menjadi perhatian
Makin lama kau undur dari dunia
Makin dalam kau akan terjebak kesedihan
Semoga kau masih bisa terlepas
Karena sekali saja kau terhempas,
Tak ada jalan untuk kembali bebas

Yogyakarta, 06/04/2016 07:05

Agar Mungkin Saja

Membuatmu mengerti kesedihanku sama sekali tak membantu
Yang ada hanya membuatku semakin sedih
Tidak ada sama sekali keinginan untuk membuatmu mengerti
Hanya saja,
Aku ingin ada seseorang yang menyadari
Karena dalam dunia yang bising
Tidak banyak yang mau pasang kuping

Dan di antara semua yang duduk pasang kuping
Kau berdiri membuat perbedaan
Datang menghampiri
Perlahan menghapus sepi
Membawakan sebuah pelukan
Menyejukkan
Dalam pelukan aku membuat perhitungan dan perkiraan
Yang tak seharusnya aku lakukan

Sepertinya belum terlambat
Untuk berhenti bertanya
Untuk Kita
Agar mungkin saja

Warung Kendi, Yogyakarta. 03-04-2016 01:12

Seperti Malam mencinta Matahari
Kita adalah petaka bagi semesta
Kebahagiaan yang fana,
Mengundang luka

Kata-kata yang sudah tak seperti semula
Menandakan semua telah berbeda
Seperti yang kuduga sebelumnya,
Aku akan terjebak gravitasi
Hanya saja, pada orbit yang berbeda

Tercipta pada sistem yang sama membuat siksa tak kasat mata
Tatapanmu membutakan,
Pelukmu menyesakkan,
Tawamu memekakkan

Yang aku khawatirkan adalah
Bukan destinasi yang sempurna
Tapi sebuah perjalanan yang bahagia
Yang akan merubah semua

Bagaimana jika yang tercipta bukanlah neraka,
Tapi surga yang lebih nyata dari telapak kaki Bunda
Bagaimana jika yang tersiksa bukanlah kita,
Tapi mereka,
Yang dulu tertawa melihat kita bahagia

Yogyakarta, 01-04-2016 14:04

Tentang Hari

Malam tidak pernah terlalu panjang
Selalu ia mendengar lolong kesepian
Jiwa-jiwa yang terpendam
Dalam riuh keramaian

Pagi akan terus menunggu
Sampai matamu tidak lagi terantuk
Sebelum hidupmu kehilangan makna
Lagi

Haruskah Siang menelanjangi
Hidupmu yang tak pernah suci
Supaya tembok dusta itu runtuh
Hingga dirimu tak lagi meronta

Sore hari selalu mereda
Melarikan sedihmu dari bahaya
Membukakan jiwanya
Membuat naungan, untukmu

Jalanan Kota Yogyakarta, 25-02-2016 21:49

Rasi Bintang Hanya Ilusi, Yang Kau Hadapi Adalah Halusinasi

Karena romantisme tidak hanya datang saat kita jatuh dalam cinta
Bisa saja romantisme menjelma menjadi sesosok Sunyi
Lalu menjelma menjadi Langit Pagi
Dan hilang mewujud Angin yang menerpa kulitmu saat cuaca sedang terik

Pagi ini aku melihat romantisme dalam wujudnya yang lain
Menjelma menjadi seorang Wanita yang tergesa-gesa menuju meja
Lalu dengan anggun melepas jaket warna krem yang dikenakannya
Dan dalam diam aku terus mengamati

Seperti pengecut, suaraku melirih
Aku sendiri hampir tak mendengar apa yang aku katakan
Dibalas dengan diam, Ia tak berkata sepatah pun
Tangannya meraih buku yang hendaknya aku beri sampul
Dan dalam diam aku terus mengobservasi

Seketika otakku berhenti menjadi otak
Tenggelam dalam gerak-gerik tangan si Wanita
Mataku bergerak sana-sini mengikuti jejak jemarinya
Tak ada sepatah kata
Hanya ada gerak mata dan gerak tangan
Dan dalam diam aku terus terpaku

Termakan waktu
Walau kulihat di arloji, hanya lima menit berlalu
Wajahnya
Aku tidak memperhatikan wajahnya
Semua otot rasanya berhenti bekerja
Aksara semuanya sirna
Dan dalam diam aku terus merasa

Aku dan si Wanita,
berbagi kesepian yang sama

14:28 16/01/2016

Mungkin

Andai mimpi kita mempunyai wujud
Mungkin mereka akan berlarian saling kejar,
lalu terjatuh satu di atas yang lain,
mimpiku mengecup kening mimpimu

Andai raga kita tidak diwakili atom-atom yang mengikat satu dengan lainnya
Mungkin mata kita tak akan saling bertemu,
dan senyum manismu itu akan lekas tak berbekas,
pergi dan tanpa sempat saling ingat

Andai percakapan kita menguasai ruang dan waktu
Mungkin langit malam tak akan pernah menjadi terang kembali,
jalanan akan terlipat tanpa sempat melihat,
kita duduk diam dan dekat

Andai tulisan ini kau baca
Mungkin...
23:51 13/01/2016

Langit Tanpa Warna

Aku akan  terus menghampirimu seperti daun jatuh
Seperti malam menghampiri rembulan
Memaknaiku akan kau temui pada akhirnya
Menghantui sekujur tubuhmu
Hingga akhir hayatmu

Kecuali
Kau tidak lagi percaya akan kehadiranku

Daun jatuh akan mengambang di udara
Berharap ranting merengkuhnya kembali
Malam berhenti di cakrawala
Meninggalkan rembulan sendiri
Tanpa warna

23:16 13/01/2016

Selalu Ada... Harapan

Melihat ke depan, berarti memahami apa yang kau tinggalkan di belakang
Untuk diam, dan menetap
Masaku sudah tiba
Begitu pula seharusnya dengan engkau
Layaknya jejak,
aku harus rela ditiup angin,
atau dihapus lautan
Aku harus mengerti kenapa aku harus pergi
Supaya musim gugur berjalan selayaknya,
Matahari yang merembes diantara ranting,
Daun jatuh selayaknya,
dan Angin berhembus menghapus
Meninggalkan kenangan
Untuk harapan

23:16 10/01/2016