Makin Tua, Makin Gila

Miris aku lihat kita
Atau malu persisnya
Jiwa suci bangsa muda
Jadi jiwa keji bangsat tua

Kalau ada pepatah
Seperti padi, makin berisi makin merunduk
Terselaraskan dengan realita
Makin tua,
Bukannya merendah  hati karena makin 'Bagus' seperti Bathara Kamajaya,
Tapi makin merunduk secara harfiah,
Hidup merunduk karena malu

Harusnya pepatah itu berubah demikian
Seperti kondom, makin berisi makin tegak
Aku harap negeri sekelas "Somalia"nya Asia Tenggara ini cukup dewasa untuk memahami pepatah tadi
Kenapa Somalia?
Betapa tidak,
Membantai saudara sejiwa senasib setanah air
Bukankah itu Somalia?

Sudahlah
Tidak perlu jadi naif sekarang ini
Akui saja
Makin tua kita, makin gila pula kita
Yang muda semoga tidak binasa
Yang muda semoga makin kuasa
Yang muda semoga jadi luar biasa
Yang muda pasti
Pasti bisa!

26/08/2012 20:49

Kalau Saja Perlu

Sabtu malam di kota Batu
400 meter tingginya
Jika kau mampu menggapai air asin pantai dari sini
Asap cerutu lokal mengepul terurai ditengah udara dingin
Duduk landai bersama susu coklat yang wataknya berlawanan dengan udara
Dengan hanya diselimuti jaringan otot tipis,
bulu kudukku bergidik,
tulangku sakit membeku

Kalau aku boleh sedikit berkata
Ini sama sakitnya kala aku ingin mendekapmu dalam pelukku
Kalaulah perlu aku mati untuk mendekapmu
Kiranya biarlah aku mati dalam dekapmu
Dirimu, yang termanis,
Lili Salju

19/08/2012 00:47

Merdeka. Merdeka? Merdeka!

Rasanya baru dua hari lalu aku begini
Tapi entah sudah berapa lama aku begini
Di negara yang katanya sudah merdeka ini
Aku masih merasa dibelenggu

Dibelenggu apa? Pertanyaannya
Apa yang mereka sebut cinta
Lima huruf sederhana
Yang disusun singkat membelah atmosfer dunia
Katanya

Merdeka dalam bercinta?
Mana bisa? Itu sudah ada hukumnya
Yang bercinta yang dibelenggu dosa dunia
Itu katanya
Lalu untuk apa ada cinta?
Menambah beban dosa saja?
Menyedihkan memang dunia
Terbelenggu dosa cinta

Merdeka dalam bercinta?
Ada satu caranya
Jangan pernah mau buta akan cinta
Buka mata, hati, dan dunia
Sebelum terbelenggu akannya
Itu namanya merdeka
Merdeka. Merdeka? Merdeka!

14/08/2012 20:27

Biarlah Gagal

Matahari tinggal separuh tanda mau habis kisah ini
Kembang taman tak lagi bau seperti dulu
Es krim vanilla kesukaanku sudah leleh dan jatuh ke tanah

Dunia hilang
Tidak menyisakan apa-apa lagi buatku
Merana
Sendiri
Berdiam diri?
Tidak!
Aku yang buat skenario ini!
Hanya saja...
Ada halaman yang hilang

Lengkap sudah peran yang kita mainkan
Belum? Belum!
Ingat? Halaman yang hilang tadi!
Brengsek!
Aku sudah merusak pentasku sendiri

Gagal itu biasa
Orang sukses itu tidak akan ada,
kalau tidak ada orang gagal
Edison pernah gagal
Lincoln pernah gagal
Aku tidak pernah takut gagal

Pentas belum selesai
Meski skripku hilang
Skenarioku acak-acakan
Selesaikan pentas ini!
Selesaikan walau gagal
Biarkan yang ini gagal
Kita gagalkan ini dengan sukses!

03/08/2012 22:38

Hiduplah Seperti Kamar Mandi

Aku iri dengan kamar mandi dan segala pernik di dalamnya

Aku ingin hidup seperti sabun;
Menari dengan indahnya di antara jemariku
Hidup tanpa halangan yang membuatku berhenti menari

Aku iri dengan gayung air;
Sebisa mungkin tak mengeluh tentang hidup kita yang keruh
Dan tetap setia mengambil hikmah dibaliknya

Sepertinya aku mirip dengan kran air;
Dengan kepalaku yang telah berputar 180°
Dan juga hidungku yang terus ingusan
Tanpa sadar aku jadi tumpuan air hidup mereka

Aku selalu ingin jadi bak air;
Mendengar, menyimpan, mewadahi
Airmata, keluh, pilu keran air
Dan tak pernah bocor

Aku iri pada kloset;
Dengan mudahnya mereka menyiram masalah
Dan membuangnya begitu saja

Dan yang paling penting dari yang terpenting
Menjadi handuk;
Mengusap airmata dan keringat
Dan mengubahnya menjadi segarnya gelak tawa manusia

20/07/2012 19:24

Sepucuk Surat Dari Stuttgart

Bersandarlah aku dihari itu
Melawan terik matahari
Di bawah balkon rumahku
Melamunkan cerita khayal

Di Stuttgart
Desing mesin jet pesawat
Deru mobil
Mendekat rapat ke telingaku
Menggangu sekali
Tapi aku sudah biasa
Seperti sapa kurir susu pagi hari

Hari itu di Stuttgart sedang panas
Awan yang biasanya baik
Berpaling balik badan sembunyi tangan
Mungkin di sana ada
Satu atau dua
Mencoba menjadi munafik terhadap dirinya
Tapi tak lama, kembalilah ia ke asal
Awan baik yang munafik

Berjalan aku lalu
Lewat tiap blok ke arah taman
Bersanding kopi hangat di jemari kananku
Melangkah pasti tak pasti
Mecari teteduhan buatku lelap
Tapi kopiku itu buatku hidup

Dalam lelap ku terjaga tetap
Menulis asal dalam senyap
Sebuah surat dari Stuttgart
Untuk kawan pena di sana
Di seberang hidup tiga benua
Berharap ia akan tertawa saat membaca surat gila ini

Masih kosong
Aku lihat kertasku masih kosong
Tapi di sisi lain aku juga melihat berkas setitik airmata
Aku rasa berkas itu saja cukup
Cukup mewakili apa yang aku rasakan saat ini
Mewakili rasa rindu sampai pilu hati
Untukmu
Seorang kasih yang kuyakini sampai mati

Untukmu aku hidup
Untukmu aku menulis
Untukmu aku mati
Untukmu
Sepucuk surat mati dari Stuttgart

20/07/2012 18:56

Gitaris Pagi Hari

Gitaris pagi hari
Duduk termenung di sudut ruang biru
Tersandar bambu
Melantunkan senandung lagu rindu
Haru pilu
Merasuk kalbu
Perlahan menggangu tidurku
Kemudian berjalan lalu
Meletakkan gitarnya dekat rak buku
Melangkah sendu ke ruang tamu
Dan diam di situ
Tanpa kata seribu
Dia tampak malu
Karena sendu haru pilu
Mati si Gitaris pagi hari itu
Di ruang tamu
Di situ

03/07/2012 14:15

Menunggu Ajal

Sebagian orang takut mati,
tapi aku sekali-kali tidak
Yang aku takuti adalah hidup
Desir darah mengalir yang kita pinjam ini
Satu kali nanti harus kita kembalikan,
jika tak ingin bunganya membengkak
Hutang nafas yang makin lekat tiap hari
Tak mungkin selamanya kita tunggak
Jejak langkah dosa yang kita lukis tiap hari
Tak menunggu dihapuskan oleh ombak
Mau diapakan juga hidup ini
Kala nanti pasti tak punya arti
Kita hidup sendiri
Kita mati sendiri
Menunggu ajal kita tiap hari

26/06/2012 09:00

Bercinta Dengan Angin

Mustahil
Tidak mungkin ada
Barang hanya lalu
Suatu tak tampak
Ciptaan tak tersentuh
Hadir, tapi tak berasa
Bercinta dengan angin itu sulit
Kau tahu dia ada
Tapi tak tahu ia dimana
Menghapus jejak senja
Seolah kau tak pernah ada
Mengikis batu berlumut
Hancurlah kau dalam peluknya
Buat dia jinak saja tak bisa
Bagaimana mau bercinta dengannya?

26/06/2012 08:37

Kehinaan yang Berkuasa

Lihat mereka!
Dikata hina, dikata apa
Tak apa, tak peduli
Hidup dalam keterbatasan tak pernah patahkan arang mereka
Melampau batas nalar alam manusia

Miris aku melihat mereka dihina
Dipandang sebelah mata
Tersisih dalam kerasnya hidup
Seakan tak ada tempat bagi mereka

Tapi kurasa tidak
Yang kulihat sekarang
bukanlah kumpulan orang terbuang
Hanyalah orang luar biasa yang akan berkuasa
Melahap habis orang-orang nalar rendah
Tak ada keangkuhan yang kurasa
Tersisa kerendahan hati yang luar biasa
Sebuah fakta kehinaan yang berkuasa

30/05/2012 08:15

Kata itu

Kata itu
Kata yang dulu sering kau ucap
Tak lagi dapat ku dengar
Walau hanya sayup-sayup saja
Ah, mungkin hanya dimakan angin pikirku
Atau tak sengajakah kututup telingaku untuk kata itu

Kata itu
Kata magis yang selalu luluhkan aku
Sampai ke tulang
Tenggelamkan aku
Lumpuhkan aku hingga aku tak dapat bangkit
Bagiku kata itu
Semua katamu

24/05/2012 20:34

Sajak Sakit Hati

Kembali aku sendiri
Melangkah pergi tanpa henti
Walau sedikit tertatih
Aku tetap tak terhenti
Tak ada yang menghalangi

Pergi aku kini
Dengan sedih tak berperi
Hiasi air muka dengan senyum nyeri
Biar aku saja yang mengerti
Duka ini dalam hati

Malam berganti pagi
Kita tak juga bergerak satu senti
Tak kunjung aku lihatmu mengerti
Malah malam ini
Aku lihatmu pergi
Sendiri
Tanpa henti
Dan tak mengerti

23/05/2012 19:47
Berlari kau menjauh
Tak peduli apa yang lalu tinggalkan di belakang
Kian jauh
Hampir tak terlihat punggungmu dari sebelah sini
Aku tak tahu mengapa kau pergi
Menjauh

Tak sepenuhnya salahmu
Karena aku akui aku tak luput dari salah dan dosa
Aku tidak pernah suka
menimpakan kesalahan pada orang lain
Seakan semua menjadi salahku
Memendekkan aliran udara dalam dadaku
Menyiksa, sungguh menyiksa
Aku tidak pernah tahu apa yang kau rasakan
Apa juga kau merasakan siksaan yang sama denganku?
Tak tahulah apa yang harus ku perbuat
Aku tak mungkin bicara banyak
Tak mungkin juga aku diam untuk selamanya
Harusnya ada cara lain untuk mengakhiri ini
Hanya saja aku tidak tahu

21/05/2012 15:59

Sebenarnya, siapa aku?

Pijar lampu kota mulai redup
digantikan indahnya kicauan burung dan hangat mentari
Di kala semua orang menaikkan doanya
Aku bertanya pada Tuhan dan diriku

Siapakah aku?
Kasihmu? Temanmu? Atau paling buruk,
bukan siapapun?

Aku terus bertanya sampai suaraku hilang dimakan angin
Anginmu terus memakan pedih suaraku
seakan tak peduli titik airmata yang jatuh
tepat di tempat terendah hidup ini
Tertampik kenyataan pahit di balik semua senyumku yang tak sempurna
Tetap ku menengadah ke atas
agar tak ada lagi air mata yang tumpah

Kau tak pernah tahu
Aku diam bukanlah aku yang tidak tahu
Tidak mau tahu
Aku ingin kau mencari tahu
Agar aku sadar
Bahwa tak cuma aku dan aku saja yang peduli
Karena aku tahu
Semua kata tanyaku hanya akan menyakitimu
Begitu pula aku
Tahukah kamu betapa sakit lidah ini menahan beban kata tanya itu?

Kembali ku bertanya
Benarkah bila ku yang ada dalam benakmu?

18/05/2012 22:59

Ketika kata sifat dan kata kerja tak lagi sejalan...

Pandai...
Tapi tak pernah belajar
Cantik...
Tapi hati membusuk bagai bangkai binatang jalang
Gaduh...
Tapi tak pernah bicara
Berani...
Tapi tak pernah maju
Peduli...
Tapi tak pernah tahu
Berkasih...
Tapi tak pernah mengasihi

24/04/2012 21:30

Secret *sajak bahasa asing pertama*

There's always been secrets
What lies beetwen your mind and your heart
Keeps you away from walking out the door
Or maybe, the one who told you to do so
Keeps the line straight
Or maybe, makes the line even more curved
You don't want anybody to get hurt
But, the truth says the opposite
I don't mind
I don't care
I don't want to
I just don't know
You can keep what yours
And I'm gonna keep mine

24/04/2012 21:08

Tergelincir

Aku tidak takut
Aku tidak gentar
Aku tidak mundur
Hanya saja aku malas,
kembali bermasalah dengan masalah yang telah lalu
Ya, malas itu kata yang tepat saat ini
Aku malas jadi tidak konsisten
Aku malas jadi tidak tetap hati
Aku malas jadi pesakitan
Aku malas jadi tempat sampah sumpah serapah
Aku malas jadi pria berawan hitam berkabut kekhawatiran
Aku malas jadi rambu jalan yang tak dihiraukan
Aku malas
Bagiku, kau adalah masalah yang membuatku semakin malas

23/04/2012 18:51

Tuhan itu Maha Adil

Tuhan beri kita waktu
jelajahi ruang kosong berdua
Bangun alam dan sekitarnya
Karena kita dicipta-Nya dua-dua
Tuhan memang Maha Adil

Tuhan beri kita otak dan hati
Bukan membuat kita sangsi,
cuma bantu kita gapai indahnya hidup
Karena hidup kita dicipta-Nya tak biasa
Tuhan memang Maha Adil

Tuhan beri kita telinga lebih banyak dari mulut
Diamlah sejenak wahai kawanku!
Dengarkan lebih banyak sebelum sumpah serapah tercuap
Karena hidup ini dicipta-Nya baik tak bercacat
bila kejujuran dan kesabaran jadi prioritas se-mulia Tuhan
Tuhan memang Maha Adil

Tuhan beri kita maaf
supaya manusia mendapat kesempatan membaik
Maaf bukan kartu aman
Maaf bukan hal mudah
Karena maaf dicipta-Nya bukan tuk dipermainkan
tapi untuk dihindari dan tak terulang kembali
Tuhan memang Maha Adil

20/04/2012 02:47

Malarindu Kangenitis

Ku temukan penyakit varian baru,
saat kau lemparkanku jauh di sini dan berlari tanpa kabar
Pesakitan yang teramat sakit,
kutemukan penawarnya saat kau pulas terlelap dalam pelukku erat
Sebuah ilmu baru yang dahsyat luar biasa buat para mantri,
persis tak ada bedanya denganmu, untukku
Gejalanya lucu,
dada kiri rintihkan namamu,
mata melihat bayang fana akanmu,
otak akan memproyeksikan semua kenangan,
resah sepanjang hari ingin bertemu
Pesakitan luar biasa menyiksa

Adinda, abang di sini rindu,
berisi sepi, berbatas ruang waktu
Aduh, Adinda, cepat kemari,
cepat pulang!
Abang sudah tak kuasa mendekapmu
mengisi botol kosong yang sudah lama kau tinggalkan ini

17/04/2012 08:01

Mendiang Ratu Buaya

Wibawa tak pernah kalah dengan jaksa
Pesona tak ada dua di Bumi mana
Hatinya mau dicari kemana juga tak ada
Tapi sayang ia hanya tinggal nama
Mendiang Ratu Buaya

11/04/2012 19:39

C D E F G A B C

Cawanku meneguk air penyibak rindu
Dalilku kalau saja lupa diri
Embunku kala mentari turun serta keringkan daun lembayung senja
Falset suara sumbang ambil alih kuasa duka
Geliat ulat semangat menjalar di tubuhku
Andaikan aku dapat pahami semua
Biaskan cahaya kesangsian
Celometan tak apa asal aku tahu

11/04/2012 19:32

Bicara apa tadi?

Sebenarnya aku malas membicarakan ini
Bergerak sedikit pun aku ogah
Tapi...
Aku berisi sepi
Jika kau mulai asik membuat dunia khayalanmu
di telinga orang
Bisik...
Sedikit...

Berisik!
Tidak bisa pelan sedikit?
Sebab aku benci
Sebab aku tak tahu
Bicara apa tadi?

11/04/2012 19:06

Aku sediakan satu baris

Untuk kau isikan dengan judul yang pas buat puisiku.

11/04/2012 18:59

Aku sediakan satu baris

Untuk kau isikan dengan judul yang pas buat puisiku.

Kotak itu Tak Pernah Hilang

Waktu berubah menjadi pusaran kehidupan
Sekuatnya kau coba keluar,
akan hilang di tengah

Aku hilang
Aku di tengah
Aku tak tahu aku hilang
Aku tak tahu aku di tengah
Aku tak tahu aku hilang di tengah
Di tengah apa aku tahu tak

Kemungkinan aku pergi
Kemungkinan aku kembali
Kemungkinan aku pergi dan tak pernah kembali
Kemungkinan aku kembali dan tak pernah mau pergi

Satu hal yang ku tahu
Dan ku hanya tahu satu hal

Kotak memori yang kau beri
takkan pernah hilang

11/04/2012 18:54

Bintang

Aku lihat bintang paling terang
di langit malam ini
Terang
Satu
Sendiri
Menyudut
Ada

Ah, gila!
Aku berubah menjadi rubah jelek pemurung semenjak kau jadi bintang
Yang dulu penuh sesak
berebut tempat di langit hitam penuh sampah

Sekarang hilang
Pergi cari galaksi lain
Aku jadi rubah jelek pemurung
Kau
jadi bintang

Aku lihat bintang paling terang
di langit malam ini
Terangnya kalapkan denyut nadi
Satu seperti kamu
Sendiri duduk di sana berhias hati
Menyudut di langit hitam penuh sampah
Ada dalam jiwaku

Aku rubah jelek pemurung
Kau
tetaplah bintang

11/04/2012 18:44

Dengarkan

Sst..
Dengar apa yang aku rasakan
Sst..
Dengar apa yang aku lihat
Sst..
Dengar apa yang aku cium

Debur ombak patahkan jiwa
Debar jantung hentikan raga
Sembur murka pancarkan amarah
Sebar belatung keroposkan hati
Hambur harta tanyakan esensi
Hambar rasa sangsikan emosi
Tabur harap tuaikan perasaan
Tampar pipi merahkan mata

Sst..
Dengar! Dengarlah sejenak...
Sst..
Apakah kau dengar?
Sebab aku mendengar relung jiwamu lebih dari yang kau tahu
dari matamu

Kopi

Kopi panas telah membakar lidahku;
sepertimu membakar hatiku dengan senyap katamu
Kopi panas telah menghitamkan kemeja kesukaanku;
seperti saat kau masuk dalam duniaku dan mengacaukan semua
Kopi panas telah menghabiskan gula terakhirku;
terlalu pahit kisah kita dan akulah yang perbaiki semua

Tapi, kopi panas telah hangatkan tubuhku;
dingin duniaku tanpa peluk kecup hangatmu
Tapi, kopi panas telah membuatku selalu terjaga;
selalu membuka mata akan semua peristiwa
Tapi, kopi panas telah jadi teman dekat;
semakin sendiri aku tanpamu

Dan paling penting, kopi panas akan tetap menjadi favoritku!

Penyiar Tua

Seorang penyiar tua duduk terdiam dalam ruangan, sambil memutar tembang sonata Beethoven sembari menghabiskan teh yang sudah hangat-hangat kuku. Menunggu sobatnya keluar pesan nasi padang kesukaannya, dan tampak semakin bingung tak ada yang bisa dikerjakan. Malang nian nasib penyiar ini. Mimpi apa dia kemarin, hari ini hanya duduk diam.

Headphone usang yang hampir robek busanya itulah yang selama ini selalu menimangnya dalam buai lembut senandung nada, pun ia tampak pegal selalu bertengger di kepalanya siang malam. Untung jendela ruang kerjannya setia mengijinkannya menatap indahnya lukisan awan putih menggumpal mirip biri-biri.
Terasa bosan, teramat bosan.

Perut meraung, cacing pita memekik, tak kuasa penyiar ini menahan goda iman segera melepas lapar. Lama kali orang ini, sahutnya sembari menjitak sobatnya.
Menua di studio membuat mereka sehati sejiwa bagai bertemankan diri mereka sendiri. Pernah sekali waktu mereka beradu mulut hanya karena masalah sepele, ada berapa balon dalam lagu Balonku. Tapi usailah sudah setelah mendapati tukang balon saja tidak tahu siapa yang berani meletuskan balon anak jendral itu.
Asam manis mereka lalui, tetapi waktu seakan tak rela mereka berpisah.

Tak terasa waktu menghabiskan nasi padang dan sonata milik Beethoven yang kala itu diputar. Petang menggeserkan senja yang selalu dampingi mereka bersuara lewat udara. Pigura foto keluarga masing-masing makin menguatkan hasrat bersua anak-istri walau di luar badai.
Pergilah masing-masing menembus badai, lewati genangan air, dan penat jalan ibukota demi anak-istri.

"Boleh kami tua dalam ruang sempit 3x3 itu, tapi kami juga punya hak hidup, Bung!"

Aku Rasa Tak Perlu...

Entah apa yang kau rasakan
Aku tak tahu apa yang kau mau
Mengerti sedikit saja inginmu akupun tidak
Tapi, kedua bola matamu tak akan pungkiri segala letup emosi gembiramu

Bukan ku tak hargai
Juga tak ingin ku melukai sedikitpun perasaanmu
Biasanya memang tidak seperti ini
Tidak dalam adatku

Mungkin rumah yang kita diami sekarang ini beralaskan pasir,
meliuk lepas seraya terhempas kuat ombak
Tak punya ilmu yang kuat sebelum berbenah
Bersenjata hati, tak bertameng ilmu
Berikat nafsu, tak berjubah doa

Aku rasa tak perlu, Adinda...
menukar jiwamu dengan sebutir beras supaya kau hidup
hanya hari ini

Pukul aku!

Pukul aku jika ku bisu!
;denganku terdiam atas semua kesahmu.
Pukul aku jika ku tuli!
;menutup duniaku akan hal baru yang kau sematkan dalam alun indah anggun sikapmu.
Pukul aku jika ku buta!
;mengaburkan pandangan sendiri akan manisnya hidup berdua, denganmu.
Pukul aku jika ku berpijak pada batu yang salah!
;melihat begitu tipisnya perbedaan benar salah.
Pukul aku jika ku ambil embun bunga bangkai!
;meminum penyegar dahaga jiwa sementara dan akhirnya mati tersedak.
.
.
.
.
.
.
Pukul aku jika ku lukai hatimu!

Sesal, Maaf, dan Hai

Kebohongan termuntah sudah.
Kebimbangan menghalangi semua rasa yang tersirat, kau dan aku.
Meninggalkan sebuah kisah kelam, di sini, di balik kemeja bercak darah.
Dan akhirnya pun aku tahu, bukan ini yang harusnya terjadi.
Tak jarang hatiku pun menangis sekencang-kencangnya. Sesali apa yang tak pernah ku lakukan.

Tertahan maaf di pangkal lidahku.
Tak tahu cara mengkontraksi otot. Takut berbuat dosa yang sama tuk kesekian kalinya.
Inginku menulis ulang semua kisah kelam dengan kata maaf.
Berpadu kasih di tengah dingin dunia,
meluapkan segala amarah,
tawarkan semua masalah,
menghapus keluh kesah.

Andai jam berputar terbalik,
mungkin ini hal pertama yang terucap:
Hai! Apa kabar? Bolehkah sedikit aku tahu namamu?

Mustahil

Tak mungkin, tak mungkin orang bisa tuliskan asam manis hidupnya hanya beberapa bulir kata saja.
Tertawalah sejenak pikiranku.
Hei, baru saja aku melakukannya!

5 Maret Setahun yang Lalu

Berdiri aku, malam itu di depan sebuah rumah.
Kisah yang panjang.
Menjadi awal, dan menajdi akhir.

5 Maret setahun yang lalu, hari bahagia bagi orang yang ku cinta-entah jika itu benar cinta atau bukan-hari disaat seorang haruslah berterimakasih pada Tuhan atas berkat yang melimpah setahun sudah.
Sebelum senja tiba, aku telah berrias bak pangeran yang siap menjemput permaisurinya, menjadikannya wanita teristimewa, dikala itu.
Aku dah siap, pikirku.

Tak lama hari telah lalu, aku terkejut.
Terperangah tak tahu haruslah berbuat apa.
Kau pergi, tepis semua peluk hangat, semua kecup rindu.
Tak patutlah kiranya jikalau semua peluk dan kecup itu menjadi siksa bagimu.
Aku ingin akhiri, tapi tak mungkin, tak bisa.
Aku hanya bisa mengalah, pasrah.
Menciutkan duniaku, biarkan jiwamu lepas seperti bebasnya burung di cakrawala kehidupan.

Aku pikir ini bukan kisah, tak pantas dibaca, tak layak diperdengarkan, tak patut diingat. Hanya karena cerita ini belum rampung.

Terhenti

Terhenti langkahku
saat ku pergi ingin menjamah kepedihan lama membekas di hati
Semenit
Baiknya cerita ini kusimpan saja
Kisah yang tak rampung,
biar jadi tuntunan hidup

Tak cuma meja yang punya kolong (Cerita kolong langit)

Tiap 1x24 jam, ada saja ide yang mencuat keluar dan melapor. Katanya, "Lapor, pak! Saya ada ide."
Minta dituang ke secarik kertas, katanya. Sayangnya, aku tak punya satu.


Kadang mereka seperti tak punya adat dan sopan santun, tak tahu dimana dan bilamana harus muncul.
Saat kuda besiku dipacu 60 km/jam, saat menimba air untuk mandi,
bahkan pukul 3 pagi saat satpam pun masih terlelap ditemani mimpi manis menangkap maling.
Ah, sial, kenapa harus lapor disaat seperti itu?


Tak apalah, pikirku.
Toh juga pikiranku masih muat dijejali ide-ide itu. Mungkin nanti-kalau aku masih ingat tentunya-di rumah pun aku masih bisa meracik ide-ide itu menjadi minuman jiwa yang patut dituang ke atas secarik kertas putih.


Sungguh nikmat rasanya menuangkan minuman itu selagi hangat.
Kurasa secarik saja tidak cukup.
Tambah, tambah, tambah lagi.
Seakan tinta hitam yang keluar dari jemar kasar ini tiada habisnya.


Kasihan minuman-minuman itu, kian dingin,
tak laku di lidah orang. Demikian halnya denganku,
hanya pramusaji, ditugaskan Tuhan hanya tuk menuang.
Meski ada waktu untuk menenggak ataupun sedikit saja meliriknya,
sekali-kali aku tidak pernah.


Di sinilah aku,
mencari meja yang tepat. Tempatku menaruh harap
adanya kehangatan bagi minuman-minumanku.
Tempatku menyimpan semua kertas, semua cerita, semua kegembiraan, kepedihan.


Di suatu tempat,
suatu tempat di kolong langit.

Wanita dan Keindahan...

Tak ada mahkluk yang lebih indah dari wanita

Lebih indah dari aurora Kutub Utara,
selalu memancarkan indah cahyanya meski dalam kegelapan
Lebih langka dari berlian merah muda Afrika,
menyatakan bahwa Tuhan masih berkarya dalam hidup yang bagai tanah ini

Mentari boleh iri,
senyum yang merekah di wajah itu hangat,
seakan merenggut hangatnya Matahari pagiku

Apa jadinya dunia tanpa wanita?

Pria bergelantung bebas pada dahan hutan beton,
menarik otot mereka,
keras kepala
Tak tahulah aku apa jadinya nanti

Begitu indah, terlalu indah
Merasa tak pantaslah aku
Ingin hati bersama,
tapi apa mau dikata

Aku merasa tak pantas

Pilihan dan Kesempatan...

Pedih rasanya ketika pilihan, 
   kian hari kian menjauh
Tak pernah kubayangkan rasanya ditinggalkan, 
   dan tak kembali

Ketika jiwa sudah tak lagi satu dengan akal
Melangkah menjauh, semakin jauh


Ketika jiwa tlah memberi banyak kesempatan,
   tak ada satu kali pun akal menghiraukan
      Tak ada sekali pun
Jika nalar ingin berkata sesuatu,
   mungkin ia tak tahu akan merangkai paragraf yang tepat tuk menulis cerita ini


Aku tahu, tiap sayat memori yang tergoreskan takkan pernah sembuh
Aku ingin tiap goresan itu,
   bukan menjadi luka pedih,
      tetapi jadi peta pengetahuan agar tak ada gores luka yang sama


Berkelit aku tak mampu,
   keluar apalagi


Hari ini kesempatan datang,
   mungkin tidak dengan hari esok
Aku telah mempermudah pilihanmu


      Jadi...?

Rinduku dan Namamu...

Tiap kali rindu menusuk dada kiriku, tepat di jantung,
teringat ku namamu.
Tiap kali ku berpaling menjauh,
kembalilah ku namamu.
Berlari ku ke bukit,
teriak ku namamu.

Tak ada satu pun yang tahu siapa, atau apa, yang mengejar merpati putih ini ke hutan,
tempatku menyembunyikan peti hati.
Kasihan dia, mungkin sayapnya akan terkoyak
oh, atau mungkin malah ranting akal sehatku yang patah diterjangnya.

Yang ku percaya hanya 1 hal, tak akan ada peti yang tidak dibuka.

Begitu pula hati keras ini.
Aku pun percaya, dan aku pun tahu
suatu saat, kau pasti datang dan membukakan peti kecil hatiku ini.

Alam dan Apapun yang Aku Tulis

Aneh rasanya menulis di tengah gelap malam hari ini. Apalagi alam, sungguh, aneh.

Anggap aku batu,
     yang diam, tenang, tidak bergerak di tengah hempasan deras arus sungai.

Anggap aku ikan Salmon,
     bergerak ke hulu mencari damai, melawan arus.

Anggap aku debu,
     masuk ke semua pasang mata pengendara dihari yang menyengat.

Anggap aku pohon,
     jadi jiwa, jadi pelindung, jadi celah cahaya hutan, jadi penyokong air kehidupan.

Anggap aku angin,
     membawa pergi semua benih Dandelion ke tanah perantauan tak tentu arah dan tujuannya, tak tentu tumbuh atau tak.

Anggap aku Matahari,
     makin lama makin destruktif, tapi tetap sinari mahkluk, tetap tak minta balas jasa pada Bumi.

Anggap aku embun,
     dingin, sejukkan hari kala Mentari dan Mega menyatu warna di ufuk timur kota kita.

Anggap aku buaya,
      selalu menunggu, oportunis, pasif. Tapi berbahaya saat mencari kudapan.

Anggap aku katak,
      takkan sempurna, takkan bahagia, takkan berubah, tanpa kecupmu, di hidupku.

Labu dan Lilin...

Lalu, apa hubungannya?
Jack o' Lantern?
Ya, tapi bukan, aku tak ingin kau menganggapku menyamakanmu dengan labu jelek itu.

Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau mirip dengannya,
selalu ada dan menerangi saat hatiku merayakan Halloween




-

Ada alasan kenapa aku membencimu lebih dari apapun sekarang ini.
Bukan karena pengkhianatan, 
bukan karena cinta, 
bukan karena aku tidak suka kelakuanmu,
bukan.


Tapi aku benci saat kau datang kembali mengusik hariku dengan harap kembali padaku.

Lembaran Kenangan dan Simpul Senyum...

Tiap hari Rabu pulang sekolah, sewaktu cinta belum menjamah otak kiriku
Sebuah sisi lain dari diriku


Aku telah belajar banyak
Simpul dan temali, pengetahuan yang seru, menurutku
Lilit sana
Putar sini
Tarik sana
Kencangkan sini
Walau pada akhirnya aku hanya dapat mengikat tali sepatu dan kantong plastik


Simpulku tak kunjung usai, perasaan itu ikut mendorongku menggali lebih dalam
Hanya saja, pelajaran kali ini lebih cepat membuat aku lapar
-Aneh memang, tapi tiap kali aku lelah berpikir aku pasti begitu-
Bukannya membuat, tapi mencari cara mengurai lembaran kenangan yang ku buat dari simpul-simpul senyum indahmu
Simpul-simpul yang ingin ku uraikan, semakin lama semakin merapat dan hilang batasnya seakan tak ingin dilepas, terlepas, atau melepas


Apa di sana kau tahu ini tidaklah mudah?


Apakah harus aku menguraikan lembaran ini?




- Tanyaku,
        Dengarlah,
               Jawablah!